Berkah, Berkah, Berkah (1)

“Jangan berfikir kami dapat apa, maksudnya secara materi, yang terjadi kami malah sering keluar untuk ini itu” Lelaki paruh baya di depan saya menceritakan pengalamannya.

Tangannya mencomot pisang goreng yang baru terhidang. Segelas kopi kental panas yang menemani belum disentuh.

“Pokoknya kami bergerak karena kepedulian. Kalau kata orang ‘panggilan jiwa’. Entahlah apa istilah lainnya, toh bagi kami nggak penting apapun istilahnya. Yang penting itu bermanfaat untuk oranglain. Sebanyak-banyaknya,”

Lanjutnya setelah menyeruput kopi.

“Pernah jam lima sore saya baru pulang ngajar. Eh… ada berita tetangga sebelah butuh bantuan. Harus segera rujuk ke rumah sakit karena kondisi yang memprihatinkan. Capek, jelas. Kalau mau nuruti keinginan ya jelas milih istirahat, tapi apa ya mau gitu? Nggak kan?,” Ceritanya semakin seru, ditambah pertanyaan retoris yang barusan keluar.

“Mas…” Bapak lima anak ini menyentuh bahu saya.

“… kalau kita mau bantu orang lain, ada banyak energi yang seolah datang tiba-tiba. Semangat itu menyala. Rasa capek yang baru dirasa seolah hilang, minimal berkurang. Saya sudah bertahun-tahun merasakan hal ini,”

“Saya juga heran mas… kalau dipikir-pikir buat apa ikut andil di kegiatan sosial ini. Lha wong yang didapat capek dan capek. Tapi itu kalau kita pakai pikiran semata lho ya… Sayangnya saya ini bukan orang yang selalu melihat sesuatu hanya dari kacamata pikiran. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan lewat pikiran, tapi bisa dirasakan oleh hati,”

Sumpah… kata-katanya keren sekali. Saya jadi malu. Tapi juga terinspirasi.

Beliau yang seorang guru negeri, pulang sore tapi masih sempat ngurusi orang lain. Tidak hidup untuk diri sendiri.

Bergabung sebagai relawan di salah satu lembaga sosial beliau berkesempatan menjumpai banyak orang yang perlu dibantu. Yang dari mereka, kata bapak itu, “Membuat saya jadi banyak bersyukur,”

Rasa capek dan sibuknya memang tidak terbayar materi. Seperti yang sudah beliau sampaikan di atas, malah sering keluar uang untuk kegiatannya.

Tapi… balasan itu justru hadir dalam beragam bentuk. Dengan nilai yang tidak bisa ditakar dengan uang.

“Meski sibuk gini dan tidak jarang keluar uang, alhamdulillah keluarga dapat berkahnya, mas. Anak-anak di rumah mudah diarahkan. Nurut dengan saya dan istri. Anak pertama sekarang jadi dokter. Alhamdulillah, dia bisa membantu untuk membiayai sekolah dan kuliah adik-adiknya. Sebagai orangtua kami tidak minta, dia sendiri yang inisiatif. Jumlahnya memang tidak banyak, tidak menutup biaya, tapi berapapun itu jelas jadi kebahagiaan untuk kami.

Anak lain juga tidak neko-neko. Ada yang cerdas akademik sehingga dapat keringanan biaya pendidikan. Ada juga sih anak saya yang tidak terlalu cerdas, perlu banyak bimbingan, tapi nurut sekali. Tidak suka membantah. Syukur banget, mas.

Kalau mengingat hal ini, duh.. rasanya kurang-kurang rasa syukur saya ini.

Saya ini tidak suka membanding-bandingkan, tapi kadang perbandingan itu menjadikan sesuatu lebih jelas. Banyak teman saya yang anaknya sering sakit-sakitan, susah di atur, dan banyak lainnya yang bikin orangtua pusing sendiri.”

Bapak ini terus saja menceritakan kesehariannya. Bukan untuk pamer tapi lebih pada memotivasi untuk tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri.

Meski begitu beliau tetap merendah. Tidak lantas menganggap apa yang sudah dilakukannya adalah hal yang sangat besar.

“Apa yang saya lakukan itu, kalau dalam pandangan orang terlihat besar, tapi sebenarnya nggak. Masih banyak yang berlipat perjuangannya. Saya pernah ketemu kumpulan anak muda, ganteng-ganteng, cantik-cantik, yang blusukan ke kantong-kantong kemiskinan. Membantu janda-janda, anak yatim, tanpa pamrih. Tidak suka selfie untuk pencitraan. Konsisten sekali mereka,”

Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya tulis tentang beliau, tapi berhubung jari sudah pegal, cukup sampai di sini saja. Kapan-kapan semoga ada sambungannya.

“Akan ada balasan di setiap kebaikan yang kita tabur. Percayalah, mas. Entah kapan itu. Entah dalam bentuk apa. Tapi bukan itu tujuan utamanya. Menjadi orang dengan sebanyak-banyak manfaat untuk orang lain, itu pegangannya,” Bapak ini menyudahi pembicaraan sembari kembali nenepuk bahu saya, untuk kesekian kali.
===
Andi Ardianto, S.Pd
Guru SDIT Insan Cendekia, Teras, Boyolali

2 thoughts on “Berkah, Berkah, Berkah (1)”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *