Matematika Pendidikan Kita

Saat sekolah dulu kita pasti pernah diajari konsep matematika. Di antaranya adalah negatif dikalikan positif hasilnya negatif. Positif dikalikan negatif hasilnya negatif. Negatif dikalikan negatif hasilnya positif. Positif dikalikan positif hasilnya positif. Konsep matematika ini ternyata juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari kita, khususnya yang diamanahi mendidik generasi penerus bangsa di sekolah.

Pertama, negatif dikalikan positif hasilnya negatif. Perilaku negatif murid yang mendapat tanggapan positif dari guru akan menguatkan nilai negatif. Misal, ada murid kelas bawah dan kelas atas berkelahi gara-gara berebut area bermain saat istirahat. Nah, reaksi guru terhadap permasalah ini akan membentuk persepsi dan perilaku murid, terutama jika dilakukan berpola dalam jangka waktu lama.

Jika guru cenderung membela salah satu dari mereka maka murid yang tidak dibela akan memendam perasaan jengkel dan tidak suka, baik kepada guru atau temannya. Ketika guru berkata pada murid kelas atas, “Sudahlah kamu mengalah saja kan sudah besar. Masa gara-gara lapangan saja harus rebutan dengan adik kelas” Dari kalimat ini murid belajar banyak hal; (a) adik kelas akan merasa bahwa dia bisa merebut hak orang lain asal statusnya lebih muda. Dalam jangka panjang hal ini akan membentuk mental senang merebut hak orang lain.

Selanjutnya, (b) adanya bibit dendam kakak kelas karena area bermainnya diberikan kepada adik kelas dengan cara paksa oleh guru. Jika tidak ditangani dengan baik suatu saat mereka akan melampiskan kepada orang lain. Kemudian, (c) murid tidak terdidik untuk berbagi pada orang lain. Ketika dia punya sesuatu dia akan berusaha mempertahankannya tanpa kesediaan berbagi. Lalu, (d) tidak adanya pengendalian diri yang baik. Adik kelas merasa ketika mau bermain dia bisa mengambil punya orang lain.

Kedua, positif dikalikan negatif hasilnya negatif. Setiap murid punya kecerdasan sendiri-sendiri. Ada yang cerdas di pelajaran, ada yang unggul di olahraga, dan ada yang jago keterampilan tangannya. Guru tidak bisa menuntut setiap murid menguasai semua bidang. Mengharap hal itu sama artinya menginginkan pohon pisang bisa berbuah nangka, mangga, dan salak. Namun sayangnya aspek kognitif seolah menjadi raja yang sangat dihargai. Tingginya nilai kognitif membuat anak dipuji setinggi-tingginya.

Padahal tidak semua murid bagus nilai kognitifnya. Karena anggapan inilah ada oknum guru yang kurang menghargai mereka yang berprestasi di bidang lain dengan alasan nilai pelajarannya jelek. Jika hal ini didengar murid yang bersangkutan maka dia akan minder dan rendah diri. Apapun kelebihan yang mereka kuasai guru sepatutnya memberi apresiasi. Hal ini akan membuat mereka merasa dihargai.

Kekurangan

Ketiga, negatif dikalikan negatif hasilnya positif. Setiap murid pasti punya kekurangan. Jika kekurangan itu direspon guru dengan positif murid akan berusaha memperbaiki tanpa ada paksaan. Misalnya, kebiasaan menaruh sepatu sembarangan. Jika guru merespon dengan membiarkan saja maka murid tidak belajar disiplin dan rapi.

Sebaliknya jika guru telaten mengingatkan agar senantiasa meletakkan barang-barang pada tempatnya, kedisiplinan dan kerapian mereka akan terbangun dengan baik. Mungkin di awal akan berat mengubah kebiasaan ini tapi jika dilakukan dengan konsisten akan membuat murid paham bahwa tindakannya tidak mendapat dukungan positif gurunya. Seiring perjalanan waktu dia akan risih jika terus diingatkan. Dalam waktu lama murid akan dengan sendirinya bertanggungjawab pada apa yang menjadi miliknya.

Guru tidak perlu banyak memberi petunjuk dan instruksi untuk membuat anak memiliki rasa tanggungjawab ini. Pun tidak perlu turun langsung menata barangnya karena hal ini akan membuatnya memiliki ketergantungan. Yang perlu guru lakukan adalah terus mengingatkan ketika murid tidak rapi.

Keempat, positif dikalikan positif hasilnya positif. Setiap murid punya prestasi sendiri-sendiri. Hargailah setiap prestasinya, sekecil apapun itu. Jangan pernah membandingkan dengan murid lain apalagi dengan yang prestasinya menjulang. Secara fitrah tidak ada orang yang suka dibanding-bandingkan. Penghargaan kita pada prestasi murid, sesederhana apapun itu sangat besar manfaatnya. Mereka merasa terdorong dan dihargai yang membuatnya berusaha meningkatkan prestasinya. Prestasi murid hari ini layaknya potongan puzzle dalam kehidupannya.

Bentuk penghargaan bisa dengan pujian yang tidak berlebihan. Pujian yang berlebihan justru akan membebani murid. Mereka akan terbebani untuk membuktikan seperti yang dipujikan padanya padahal bisa jadi kemampuannya belum sampai segitu.

Penghargaan positif lain bisa dengan memberikan hadiah. Memberikan barang yang dibutuhkan adalah salah satunya. Ketika seseorang sedang butuh, sekecil apapun pemberian akan terasa begitu bermakna. Tidak harus yang mahal, yang penting sisi manfaat terpenuhi.

Jika konsep ini konsisten dilakukan guru dalam mendidik murid-muridnya, kita layak berharap akan lahir generasi yang akan membuat perubahan bagi bangsa ini kelak. Semoga.

*Artikel ini pernah dimuat di Harian Solopos.

Andi Ardianto, S.Pd

Guru SDIT Insan Cendekia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *