Pelajaran di Balik Menata Sepatu

Konon, satu kepakan kupu-kupu di hutan belantara Amazon, Brasil akan menimbulkan tornado di Texas, Amerika Serikat beberapa bulan kemudian. Istilah ini kemudian dikenal luas dengan butterfly effect atau efek kupu-kupu.

Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Edward Norton Lorens pada tahun 1961 di tengah kesibukannya sebagai peneliti meteorologi. Teori ini bisa diterapkan dalam dunia pendidikan. Betapa banyak hal kecil yang diajarkan kepada murid yang akan membawa banyak kebaikan di waktu mendatang.

Menata sandal dan sepatu, misalnya. Perkara ini kelihatannya remeh tapi bukan hal sepele. Kita saksikan sendiri fenomena di tengah masyarakat betapa banyak dijumpai kumpulan sandal dan sepatu yang tidak rapi, berserakan, dan mengganggu pemandangan.

Hal ini tentu bukan tanpa sebab mendasar. Kebiasan yang sudah tertanam sejak kecil menjadi salah satu faktor terbesar yang paling berpengaruh. Banyak orang yang dengan nyaman dan tanpa rasa bersalah meletakkan sandal dan sepatu begitu saja, terutama di tempat umum. Di sinilah peran sekolah sangat besar. Sejak dini murid harus dididik agar mampu menata sandal dan sepatu dengan rapi.

Upaya ini sudah dilakukan di “Sekolah Presiden” SDIT Insan Cendekia, Boyolali selama beberapa bulan terakhir. Sebelum masuk ke masjid untuk shalat dhuha dan dhuhur murid dibariskan terlebih dahulu. Setelah semua rapi, secara bersama-sama siswa mendengarkan sedikit pengarahan tentang pentingnya disiplin dan rapi yang disusul membaca do’a masuk masjid.

Secara bergantian dengan tetap menjaga barisan tetap rapi murid masuk ke masjid setelah menata sepatu dengan rapi. Ada guru yang mengarahkan dan ada petugas piket dari murid yang bertugas mengingatkan jika ada teman yang sandal atau sepatunya tidak pada posisi semestinya.

Hal ini kelihatannya sepele tapi menyimpan begitu banyak pendidikan. Fokus pendidikan di sekolah, apalagi tingkat dasar, adalah membentuk karakter yang baik. Nilai kognitif memang perlu tapi itu bukan tujuan utama.

Kerelaan mengantri, berbaris, disiplin, rapi, tumbuhnya rasa tanggung jawab dan minat serta kenyamanan belajar jauh lebih penting daripada deretan angka di lembar penilaian. Jika hal tersebut di atas sudah terbentuk dengan baik nilai akademik bukanlah hal yang susah untuk diraih. Itu semua bisa dimulai dari langkah yang sangat sederhana yaitu menata sandal dan sepatu.

Beberapa orang tua juga mengapresiasi apa yang dilakukan sekolah. Mereka bercerita kalau kebiasaan yang ditanamkan sekolah ini berefek saat di rumah. Banyak murid yang kalau di rumah jadi tambah rajin melipat pakaian, alat shalat, dan beberapa barang yang berserakan. Ini tentu menjadi tambahan semangat kami untuk terus mendidikmereka.

Tanggung Jawab

Tanggung jawab secara definisi merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Tanggung jawab bersifat kodrati, yang artinya tanggung jawab itu sudah menjadi bagian kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan yang pasti masing-masing orang akan memikul suatu tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Apabila seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa untuk tindakan tanggung jawab tersebut. (Elfi Yuliani Rohmah: 2016)

Rasa tanggung jawab yang terbentuk akan menajamkan hati nurani. Seseorang yang sejak kecil dididik agar terasah hati nuraninya akan merasa risih jika suatu waktu dia menyalahi aturan atau merugikan orang lain. Tanggung jawab juga akan sangat berarti bagi siswa untuk mendapat pengalaman belajar yang baik.

Lingkungan sekolah dan rumah harus bersinergi dalam menginternalisasi nilai ini pada murid (anak) agar terbentuk rasa tanggung jawab yang paripurna dan militan. Di rumah, orang tua meneruskan apa yang sudah dirintis dan dibiasakan sekolah. Jangan sampai ada orang tua yang hanya menyerahkan hal ini kepada sekolah karena itu sama artinya mereka ikut andil dalam kegagalan proses pendidikan.

Guru dan orang tua awalnya memang perlu sering menasihati, mengarahkan, membimbing, dan mengingatkan murid (anak), tapi jika nilai ini sudah melekat kuat di dada, mereka akan bertindak sesuai hati nurani tanpa diminta, diawasi, diperintah,dan mengharap pujian.

“Karakterdisiplin yang bertanggung jawab dan tanggung jawab dengan penuh disiplin yang dimiliki pembelajar akan membawa pada locus of control yang dimilikinya dan membawa pada keberhasilan penyesuaian diri yang positif dan keberhasilan dalam belajar termasuk pada penguasaan tugas perkembangan (development task) pada tiap tahap perkembangannya.” (Elfi Yuliani Rohmah: 2016)

Pada akhirnya, menumbuhkan karakter tanggung jawab bukanlah pekerjaan semalam yang tiba-tiba jadi. Butuh proses panjang dan berkesinambungan. Semoga langkah kecil yang sudah dilakukan “Sekolah Presiden” SDIT Insan Cendekia bisa menjadi langkah awal dalam menapaki tujuan mulai itu sehingga terbentuk murid yang mandiri, disiplin, dan menghargai kepemilikan barang. Semoga.

Andi Ardianto, S.Pd

Guru SDIT Insan Cendekia, Teras, Boyolali

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *