Untuk Apa Kita di Sini?

Permasalahan niat adalah sesuatu yang sepele tapi berefek sangat besar. Ia seperti lokomotif yang menggerakkan laju kereta. Kemana arahnya, cepat lambatnya sangat dipengaruhi olehnya.

Seperti itu pula niat kita menjadi guru dan semua yang terlibat di dunia pendidikan. Beragam niat yang terbetik sejak awal akan sangat menentukan bagaimana kita menjalani profesi itu.


Maka pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh siapa saja yang terlibat di dunia pendidikan adalah, “untuk apa kita di sini?” Ada yang karena ingin mengabdi dan memajukan negeri lewat pendidikan. Niat ini sungguh mulia. Kita pun tidak memungkiri ada yang menjadi guru karena tidak bisa bersaing di bidang lain.


Syamsudin Harun (2017) menyatakan ada lima poin penting atas pertanyaan “untuk apa kita di sini?” Pertama, menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Lembaga pendidikan adalah wadah yang sangat strategis untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan.

Selain objek dakwahnya tetap dalam jangka waktu relatif lama juga keteraturan keberadaan objek didik yang relatif tetap. Hal ini memudahkan kita membangun nilai baik secara berkesinambungan dan rapi.


Semua yang terlibat di dunia pendidikan juga bisa menjadi agen penyebaran nilai kebaikan. Tukang kebun dan petugas cleaning service adalah agen penyebar nilai kebersihan dan kerapian.

Pegawai kantin agen penyebar adab makan dan kesediaan mengantre. Petugas administrasi adalah agen penyebar nilai kejujuran karena mereka selalu mengembalikan uang kelebihan pembayaran bulanan.

Satpam sekolah agen tentang kehati-hatian karena dia selalu menyeberangkan murid dengan hati-hati. Bahkan tukang bangunan di sekolah pun bisa menjadi agen kebaikan dengan mengajarkan kerapian, kedisiplinan, ketelitian, keindahan, dan kekokohan hasil kerja.

Kedua, menumbuhkan potensi diri. Lembaga pendidikan hadir bukan hanya untuk menumbuhkan potensi anak didiknya tapi juga semua elemen di dalamnya, termasuk guru.

Setiap tugas dan peranan yang diamanahkan selayaknya dimaknai sebagai jalan untuk terus meningkatkan kemampuan lewat karya terbaik. Letih, lelah adalah bagian dari tabiat perjalanan yang akan semakin mengasah kebijaksanaan kita.

Munif Chatib (2014) menyatakan bahwa berdasarkan kemauan untuk maju dan menumbuhkan potensi guru terbagi menjadi tiga kelompok; guru robot, guru materialistis, dan gurunya manusia.

Guru robot adalah guru yang bekerja selayaknya program robot. Dia hanya akan bergerak jika ada instruksi yang jelas. Tanpa itu dia tidak peduli pada pendidikan kecuali sebatas datang, mengajar, dan pulang.

Guru materialis adalah guru yang bekerja layaknya pedagang yang selalu berhitung dengan untung rugi. Jika pekerjaan itu menguntungkan maka dia akan melaksanakan, sebaliknya jika tidak ada imbalan maka malas-malasan.

Sementara gurunya manusia adalah mereka yang siap tumbuh dan memaksimalkan potensi sehingga membawa pengaruh yang signifikan dalam dunia pendidikan.

Ketiga, pemenuhan kebutuhan. Guru sebagai profesi yang mulia adalah salah satu jalan untuk memenuhi hidup lewat pendapatan yang layak dan halal, terlebih dengan perhatian pemerintah lewat tunjangan sertifikasi.

Keempat, basis pengokohan masyarakat. Lembaga pendidikan harus berkontribusi dalam percaturan hidup di masyarakat. Lembaga pendidikan tidak boleh seperti mercusuar yang berdiri tegak dan menjulang tinggi tapi tidak banyak memberi manfaat.

Sekolah tidak boleh hanya untuk kalangan tertentu. Sekolah pun tidak boleh tertutup dari masyarakat.

Terlebih kita tahu bahwa sekolah, keluarga, dan masyarakat punya ikatan kuat yang saling mendukung. Masyarakat yang kokoh ditopang keluarga yang kokoh. Keluarga yang kokoh dibentuk dari individu yang kuat. Dan sekolah adalah tempat yang sangat strategis untuk membentuk individu yang kuat lewat didikannya.

Kelima, pemunculan tokoh panutan. Guru yang sering diidentikkan dengan digugu dan ditiru akan lebih terasa keberadaannya ketika bisa menjadi panutan di masyarakat. Bahkan kita sering mendengar istilah bahwa guru kalau sudah kembali ke masyarakat harus bisa semuanya.

Bisa sambutan, bisa jadi pembawa acara, bisa menasihati, bisa jadi imam shalat, bahkan beberapa rekan guru bercerita dia juga harus bisa memotong hewan peliharaan karena ternyata masyarakat sering meminta bantuannya.

Asrori S. Karni (2008) mengatakan bahwa upaya-upaya memunculkan sosok yang bisa menjadi cermin dan sumber inspirasi amat diperlukan bangsa ini untuk penguatan diri agar bangkit dan maju.

Bila figur sentral tingkat nasional makin langka, maka desentralisasi figur panutan bisa menjadi pengisi kekosongan. Dan sosok itu bisa hadir dari laboratorium bernama lembaga pendidikan.

Andi Ardianto, S.Pd

*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Hadila

2 thoughts on “Untuk Apa Kita di Sini?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *