Berkah, Berkah, Berkah (2)

Di tulisan sebelumnya (Berkah, Berkah, Berkah (1)), penulis sudah bercerita tentang guru yang ‘nyambi’ jadi pekerja sosial dengan segala keberkahannya.

Artikel ini adalah lanjutan dari bagian pertama.

//

“Saya ini orang yang sangat percaya keberkahan hidup sangat berkaitan dengan kejujuran kita dalam berkarya. Yang punya usaha, ya berkaitan dengan kejujurannya menjalankan usaha. Yang bekerja pun demikian.

Saya ini kan guru sudah puluhan tahun jadi banyak pengalaman. Banyak guru yang penuh dedikasi. Jarak tempuh jauh dari rumah tapi tidak terlambat. Ini guru yang hebat. Sudah banyak yang saya jumpai. Untuk perjalanan saja hampir dua jam. Puluhan kilo. Apalagi sudah tua, ya, bisa dimaklumi.

Tapi… oknum yang kurang bahkan tidak disiplin juga tidak sedikit.

Stop. Berhenti dulu di sini. Saya tekankan sekali lagi, ‘oknum’ bukan keseluruhan. Biar tidak salah paham.

Saya kadang sampai geleng-geleng, lha masuk sekolah kok terlambatnya berjam-jam. Konsisten lagi. Pie jal? Ini bukan guru teladan, tapi guru telatan,” katanya diselingi tawa rendah.

“Melihat guru model gini itu rasanya geregetan. Ingin menegur tapi kok nggak enak. Lha sama-sama guru. Yang membedakan hanya masa kerja saya lebih lama. Tapi… ya, tetap nggak enak,”

“Apa tidak ada kontrol dari pimpinan?” Saya menyela.

“Mas, sekolah saya itu jauh. Di pelosok yang aksesnya tidak mudah. Dari dinas terkait juga, mungkin, malas kalau harus ke sini. Apalagi jalannya, mas lihat sendiri, di banyak tempat lebih tepat dibilang sungai kering.”

“Kalau kepala sekolah?” Lanjut saya mendesak.

“Beliau orang baru. Mungkin masih belajar kultur di sini. Tapi saya juga nggak begitu tahu apakah beliau ini mempedulikan kejadian ini atau tidak. Bisa jadi beliau setipe jadi diam saja,” beliau kembali tertawa. Kali ini sedikit lebih tinggi.

“Kemarin, salah satu guru yang suka terlambat kecelakaan. Mobil barunya menabrak mobil lain di jalur utama Jogja. Kedua mobil lumayan parah. Sudah empat puluh juta beliau keluarkan untuk perbaikan tapi sampai sekarang belum kelar. Untungnya sih tidak ada korban jiwa.

Beliau ini mau menjenguk istri dan anak di Bantul. Dua pekan sekali beliau pulang. Naas, kali ini ada kejadian itu. Satu sisi saya kasihan. Teman dapat musibah pasti kita prihatin. Tapi di sisi lain saya merasa ini semacam teguran untuk beliau. Semoga ada hikmahnya.

Beliau sudah digaji banyak oleh negara. Aparatur sipil negara, sudah sertifikasi. Kalau tidak amanah, sewaktu-waktu bisa diambil dari jalan lain.

Jadi, kerja itu ya harus jujur. Bukan karena dilihat orang lain. Ini kan lebih pada tanggungjawab moral kita.

Zaman sekarang, moral baik itu barang langka. Meski gitu jangan sampai kita ikut andil menghilangkan moral baik itu.

Saya begitu respek pada salah satu guru yang jarang, bahkan hampir tidak pernah, terlambat. Baik itu datang ke sekolah atau masuk kelas. Beliau ini orang yang saya lihat sangat kokoh keyakinan dan pendiriannya.

Tidak mudah ikut-ikutan arus dan keadaan. Tetap konsisten meski sekitar banyak yang tidak sejalan dengan kebiasaan baiknya. Luar biasa.

Saya kok jadi ingat Andrea Hirata. Beliau punya langkah bagus lewat novel Laskar Pelangi. Sosok Bu Muslimah yang begitu berdedikasi patut dicontoh banyak guru. Ini kan kehebatan Andrea, mampu mengangkat sosok guru inspiratif lewat tulisan fenomenal.

Jadi banyak yang tahu. Banyak yang berubah.

Dan saya sangat yakin, sosok Bu Mus juga bertebaran di sekitar kita. Yang dekat. Sayangnya kurang terekspos.”

Bapak berusia lima puluh lima tahunan ini bercerita penuh pesan mendalam. Lamanya pengabdian di dunia pendidikan membuat beliau kenyang pengalaman.

Semoga saya bisa mengambil pelajaran, bukan hanya bisa menuliskan.

====

Andi Ardianto, S.Pd
Guru SDIT Insan Cendekia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *