Suatu waktu saya bertanya kepada murid-murid kelas enam terkait definisi sukses. Selayaknya kita, beragam jawaban pun keluar dari lisan mereka. Masing-masing jawaban menunjukkan cara pandang terhadap kesuksesan itu sendiri.
Ada yang menganggap sukses itu kalau banyak harta. Tabungan banyak. Aset berderet. Tidak sedikit yang menilai sukses itu kalau terkenal. Bangga, seperti selebriti, katanya.
Banyak juga yang memandang sukses kalau punya jabatan tinggi. Baik di pemerintahan, masyarakat, organisasi, maupun di tempat kerja.
Jawaban serupa mungkin akan tidak jauh beda jika pertanyaan itu dilontarkan pada kita. Banyak sekali yang masih menilai kesuksesan dari bentuk material.
Harta yang melimpah, kedudukan yang tinggi, ketenaran bisa jadi beberapa di antara simbol kesuksesan. Tapi apakah ketika seseorang telah sampai pada capaian di atas lantas disebut sukses? Dan apakah jika hal itu tidak tercapai tidak ada kebahagiaan yang didapatnya?
Jika hanya itu yang menjadi tolok ukur, lalu bagaimana dengan relawan yang ikhlas berbagi di daerah terpencil demi senyum kebahagiaan sesama, apakah dia tidak sukses?
Bagaimana pula dengan tukang bangunan yang pulang dengan rasa capek yang menggerogoti tubuh, tapi ada sambutan hangat anak istri. Apakah dia tidak sukses?
Ternyata definisi sukses bukan semata yang bisa diindera. Banyak hal tidak terlihat yang sesungguhnya justru menjadi syarat sukses seseorang.
Valentino Dinsi dalam 8 Secrets (2008) memaparkan ada enam kriteria seseorang bisa dianggap sukses.
Kecerdasan emosi dan spiritual ada di urutan teratas. Menyusul fisik dan kesehatan. Di belakangnya ada keuangan. Pendidikan, karir dan pengembangan diri. Jangan lupakan juga kontribusi sosial. Dan ditutup dengan rekreasi, keluarga, dan rumah tangga.
Pertama, kecerdasan emosi dan spiritual atau yang lebih dikenal dengan ESQ. Dua hal ini kalau bisa dibilang merupakan poros dari semua kebahagiaan dan kesuksesan. Kecerdasan yang kuat pada dua hal ini akan menuntun pada kebahagiaan meski bisa jadi indikator lain tidak terlalu kuat.
Semangat menjalani hidup, mampu bangkit dari keterpurukan, semangat berbagi, menghargai perbedaan, dan memandang hidup dengan penuh optimis adalah di antara bentuk dari kecerdasan emosi.
Jangan lupakan pula bahwa kedekatan seseorang dengan tuhannya adalah penerang yang bisa membawa pada titik kebahagiaan. Dia akan bersyukur atas apa yang sudah diperolehn. Lebih banyak memandang ke bawah yang membuatnya selalu merasa dikaruniai banyak hal, dan tidak memandang ke atas sehingga pesimis dan terus merasa kurang.
Spiritual yang kuat juga akan membuat sadar bahwa hidup ini penuh dengan ujian. Banyak hal yang tidak bisa diraih sesuai harapan. Akan tetapi, keyakinan membawanya pada ketenangan bahwa apapun yang sampai pada dirinya, sesuai takdir yang telah digariskan. Pun, apa yang memang tidak ditakdirkan, bagaimanapun usahanya, tidak akan dia dapatkan. Hal ini akan membuat hati tenang.
Kedua, fisik dan kesehatan. Seandainya seseorang disuruh memilih antara punya kekayaan yang melimpah tapi sakit-sakitan denga hidup sederhana tapi sehat, saya yakin banyak yang akan memilih opsi kedua.
Cuci darah, misalnya. Meski hartanya tidak habis tujuh turunan tapi saya yakin orang yang terkena hal ini akan berkurang kebahagiaannya. Bagaimana tidak, lidahnya tidak leluasa lagi mencicipi makanan lezat seperti sebelumnya. Pola hidupnya serba harus diatur. Belum lagi jadwal rutinnya yang setiap pekan harus periksa ke dokter.
Hal ini tentu membuat pikiran kacau. Tekanan mental juga akan menerpa.
Maka kesehatan adalah barang mahal yang keberadaannya perlu senantiasa disyukuri. Lewat tubuh yang sehat banyak hal yang bisa dilakukan dan dicapai seseorang.
Terlebih dengan kian mahalnya biaya sakit, kita perlu terus menjaga agar tidak terjerembab. Maka fisik yang sehat adalah indikator dari kebahagiaan.
Ketiga, keuangan. Majalah Forbes mendefinisi kaya dengan mereka yang berpenghasilan 1 juta dolar Amerika setahun. Dengan kurs saat ini berarti kira-kira 14,5 milyar rupiah setahun.
Robert T. Kiyosaki mengatakan bahwa orang kaya adalah mereka yang passive income-nya lebih besar dari biaya hidup.
Jika biaya hidup seseorang lima juta rupiah sebulan, sementara ‘pemasukan tanpa kerja’ lewat royalti buku, lagu, atau kontrakan rumah lebih dari itu maka ia sudah bisa disebut kaya.
Perbedaan antara orang kaya dan belum kaya terletak pada mental. Begitu dapat uang, tipe pertama akan berfikir, “Bagaimana melipatgandakan?” Sedangkan yang kedua, “Untuk beli apa,”
Keempat, pendidikan, karir, dan pengembangan diri. Jangan pernah puas dengan ilmu yang kita dapat karena itu berarti kemandekan.
Ilmu adalah penuntun yang bahkan lewat ilmu seseorang bisa memilah mana yang lebih prioritas antara tempe dan rokok.
Karir pun demikian. Setiap orang pasti menginginkan karir yang cemerlang di tempat kerja. Yang punya usaha juga akan berusaha agar usahanya melejit.
Karir yang cemerlang akan membawa kebahagiaan tersendiri pagi pelakunya. Tapi karir yang baik juga harus didukung spiritual yang kuat. Karena begitu banyak orang yang mengakhiri hidup justru saat dia di puncak karir.
Kelima, kontribusi sosial. Kebahagiaan seseorang akan mencapai puncak ketika dia juga mau membagi kebahagiaan pada orang lain.
Sekecil apapun kontribusi yang mampu diberikan pada orang lain akan ada kebahagiaan luar biasa yang dirasakan hati. Ia tidak akan menghilangkan apapun dalam diri pemberi. Kontribusi sosial justru menjadi cara mempertahankan nikmat pada dirinya.
Untuk mewujudkannya pun tidak perlu menunggu sempurna dulu baru bertindak. Jangan menunggu kaya untuk berbagi. Tidak menunggu waktu luang untuk berkarya bagi orang lain.
Keenam, keluarga, rekreasi, dan rumah tangga. Kebahagiaan besar bagi siapa saja yang dianugerahi keluarga yang tentram, tenang, penuh kedamaian.
Mereka yang sukses dalam bidang apa saja biasanya lahir dari kehidupan keluarga yang penuh visi. Membangun keluarga adalah membangun peradaban.
Maka alangkah nikmat jika kita dianugerahi keluarga yang luas visi, kokoh iman dan ilmu.
Seseorang yang sukses di luar belum tentu merasa bahagia jika keluarga bermasalah. Misal tidak ada penghormatan anak pada orangtua, pertengkaran suami istri, dan keterlibatan anak pada kemaksiatan.
Maka alangkah bahagia jika seseorang sukses dalam karir dan pendidikan sekaligus sukses membangun bahtera rumah tangga.
Rutinitas keluarga yang panjang dan itu itu saja sering membawa seseorang pada titik jenuh. Disinilah diperlukan waktu luang untuk recharge semangat dan wawasan lewat rekreasi bersama keluarga.
Hal ini tentu akan sangat banyak manfaatnya untuk semua anggota keluarga.
Nah, semoga kita bisa mengumpulkan enam indikator kebahagiaan itu dalam diri. Terutama faktor emosi dan spiritual yang menjadi poros segalanya.
===
Andi Ardianto, S.Pd
Guru SDIT Insan Cendekia